Jakarta - Anda yang sudah lama tinggal di Jakarta, mungkin pernah mendengar nama 'Kramat Tunggak'. Mendengar nama itu, pastilah yang terbayang adalah dunia prostitusi. Tapi itu cerita lama. Kini kawasan itu telah berubah, dari kawasan hitam wisata maksiat menjadi kawasan wisata ruhani, karena di atasnya telah berdiri kokoh Jakarta Islamic Center (JIC).
Ya, sekilas sejarah. Kawasan prostitusi 'Kramat Tunggak' sangat populer keberadaannya di tahun 1970 hingga 1980-an. Tidak saja bisnis prostitusi yang menggeliat di kawasan ini. Bisnis perjudian pun tak kalah maraknya. Maklum, lokalisasi prostitusi dan judi di kawasan ini tumbuh karena mendapat legalisasi dari gubernur DKI Jakarta ketika itu, Ali Sadikin. Tujuannya untuk mengendalikan penyebaran bisnis judi dan prostitusi di Jakarta.
'Kramat Tunggak' adalah nama sebuah Panti Sosial Karya Wanita (PKSW) Teratai Harapan Kramat Tunggak, yang terletak di jalan Kramat Jaya RW 019, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Kotamadya Jakarta Utara. Areal tersebut tepatnya menempati lahan seluas 109.435 m2 yang terdiri dari sembilan Rukun Tetangga (RT).
Kemasyhuran Kramat Tunggak saat itu bahkan hingga Asia Tenggara, dikenal sebagai pusat 'jajanan' terbesar bagi kaum hidung belang. Pada awal pembukaannya tahun 1970-an, terdapat 300 orang Pekerja Seks Komersil (PSK). Dan menjelang ditutupnya pada tahun 1999, jumlahnya mencapai 1.615 orang PSK. Artinya, lokalisasi ini tumbuh dan berkembang dengan pesat yang akhirnya menimbulkan masalah baru pada masyarakat di lingkungan sekitarnya dan sekaligus citra Jakarta yang tidak bisa dipisahkan dari sejarahnya sebagai sebuah kultur Betawi yang sangat identik sebagai komunitas Islam yang terbuka, bersemangat multikultur, toleran dan sangat mencintai Islam sebagai identitas utama kebudayaan mereka.
Kondisi jahiliyah Kramat Tunggak yang demikian menimbulkan desakan banyak kalangan masyarakat, terutama warga sekitar untuk segera menutup kawasan maksiat tersebut. Hingga pada 31 Desember 1999, lokalisasi Kramat Tunggak akhirnya secara resmi ditutup melalui SK Gubernur KDKI Jakarta No. 6485/1998.
Setelah ditutup, banyak gagasan yang muncul dari masyarakat untuk mengubah area tersebut menjadi kawasan yang positif. Ada yang mengusulkan pembangunan pusat perdagangan (mall), perkantoran dan lain sebagainya. Namun Gubernur Sutiyoso ketika itu memiliki ide lain, yaitu membangun Islamic Centre. Sebuah ide yang cemerlang yang menyatukan kelompok-kelompok lain yang awalnya berbeda-beda.
Setelah pembahasan cukup panjang dengan seluruh pemangku kepentingan baik di pemerintahan provinsi maupun tokoh masyarakat, dan pematangan perencanaan, akhirnya dikeluarkanlah SK Gubernur KDKI No 99/2003 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre). Selanjutnya pada tahun April 2004, Badan Pengelola Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamci Centre) diangkat/dilantik melalui SK Gubernur KDKI Jakarta No. 651/2004.
Saat ini, kondisinya sudah berubah 180 derajat. Bangunan megah yang juga dijadikan sebagai pusat pendidikan agama Islam itu telah menjelma menjadi kebanggaan warga sekitar dan warga Jakarta pada umumnya.
Mengunjungi Jakarta Islamic Center (JIC), tak akan sedikitpun terkesan nuansa 'panas' ataupun kesan maksiat sebagaimana sebelumnya.
Selain sebagai pusat pendidikan agama Islam, JIC juga menawarkan potensi wisata religi yang berada di wilayah Jakarta Utara. Bahkan, keberadaan JIC juga termasuk dalam program 12 destinasi wisata pesisir yang menjadi andalan Pemkot Administrasi Jakarta Utara di bidang pariwisata.
JIC menjadi sarana rekreasi untuk menambah wawasan. Karena di dalamnya dilengkapi dengan sebuah perpustakaan yang sangat nyaman dengan koleksi berbagai macam referensi buku-buku Islam yang cukup lengkap.
*dikutip dari berbagai sumber
( rmd / rmd )