, Pekanbaru - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pekanbaru kembali menyidangkan kasus PON XVIII Riau terkait suap dalam revisi Perda Nomor 6 Tahun 2010, Kamis 19 Juli 2012. Dalam sidang itu, Jaksa Penuntut Umum KPK menghadirkan Faisal Aswan sebagai saksi dalam kasus yang menjerat Eka Darma Putra dan Rahmat Syahputra.
Di depan majlis hakim yang dipimpin Krosbin L Gaol, Faisal mengaku mengetahui bahwa ada ''uang lelah'' untuk anggota Dewan sebesar Rp 1,8 miliar itu dari M. Dunir, koleganya di Dewan. Aswan adalah legislator dari Golkar, Dunir dari PKB. Menurut Aswan, Dunir menemuinya 3 April 2012, sebelum sidang paripurna revisi Perda 06 dimulai.
Saat itu, kata Faisal, Dunir meminta bantuan dirinya untuk mengurus ''uang lelah'' itu dari Eka Darma Putra, Kasi Sarana dan Prasarana Dinas Pemuda dan Olahraga. "Dunir teman akrab saya, saya segan tidak membantu dia," kata Faisal, saat ditanya kenapa dia bersedia untuk mengurus uang itu.
Selain itu, Faisal mengakui adanya tekanan politis dari dari anggota Dewan lainnya, yakni Roem Zein dan Tengku Muhazza. Jika tidak ada uang lelah tersebut, revisi perda akan disandera dan tidak akan disahkan. Lalu Faisal mencoba menghubungi Roem terkait pernyataan tersebut. "Ternyata benar, teman-teman Dewan mensyaratkan itu," kata Faisal, dalam sidang itu.
Setelah sidang paripurna selesai, anggota Dewan, masing-masing Roem Zein, Torechan Ansari, dan Taufan Andoso Yakin, silih berganti menelpon Faisal menanyakan apakah "uang lelah" itu sudah diterima. Kata Faisal, ketika dihubungi oleh mereka, uang tersebut sedang dalam proses penerimaan.
Singkat kata, Faisal meminta bantuan dua temannya yang ia kenal sejak SMA, yaitu Sandi Wiryawan dan Dasril, untuk menerima uang dari Eka Darma Putra dan Rahmat Syahputra di rumah kontrakan Faisal. Rahmat adalah staf PT Pembangunan Perumahan, kontraktor pembangunan lapangan tembak PON Riau. Tapi Faisal mengaku tidak mengetahui uang itu akan didistribuskan untuk siapa saja. Setelah ditangkap KPK, ia baru mengetahui dari Dunir bahwa uang itu akan didistribusikan untuk 55 org anggota DPRD.
Dalam sidang sehari sebelumnya, hakim juga mencecar Dunir saat ia menjadi saksi. Hakim mempertanyakan maksud dari uang senilai Rp 1.8 miliar yang dialirkan ke anggota DPRD Riau. Dunir mengaku uang tersebut merupakan "uang lelah" bagi anggota Dewan yang akan mengesahkan revisi Perda 06 Tahun 2010 tentang penambahan anggaran lapangan tembak. Diakui Dunir, setelah Perda itu disahkan, maka anggaran untuk lapangan tembak nantinya bertambah Rp 19 miliar. "Dananya belum keluar, cuma perda saja yang baru direvisi," kata Dunir.
Selanjutnya, Dunir mengakui uang senilai 1.8 miliar diperuntukkan dua Perda yang akan direvisi, yakni Perda 06 Tahun 2010 tentang venues tembak dan Perda 05 Tahun 2008 tentang pembangunan main stadium. Karena hanya satu perda yang masih disahkan, maka uang yang akan diterima Dewan sementara hanya 900 juta. Dunir mengaku "uang lelah" itu akan dibagi-bagikan ke anggota dewan yang berjumlah 55 orang.
Kasus korupsi PON Riau ini bermula saat KPK mencokok tujuh anggota Dewan Riau pada 3 April 2012. Saat penangkapan KPK menyita duit Rp 900 juta, yang diduga sebagai uang suap proyek PON. Uang ini diduga sebagai suap kepada anggota DPRD Riau terkait penambahan dana pembangunan lapangan tembak sebesar Rp 19 miliar.
Awalnya KPK hanya menetapkan empat tersangka, yakni Faizal Azwan, M. Dunir, Eka Dharma Putra dan Rahmat Syahputra. Pada 8 Mei, KPK menetapkan dua tersangka lagi, yakni Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau, Lukman Abbas serta Wakil Ketua DPRD Riau Taufan Andoso Yakin. Pekan lalu, KPK juga telah menetapkan tujuh anggota DPRD Riau sebagai tersangka baru, yakni Zulfan ,Abu Bakar Siddik, Adrian Ali, Tengku Muhaza, Syarief Hidayat, Moh. Roem Zein, dan Turoechsan Assyari. Dengan penetapan tujuh tersangka baru anggota DPRD Riau itu, total tersangka kasus ini menjadi 13 orang.
RIYAN NOFITRA
Orignal From:
Tersangka Suap PON Akui Ada Tekanan Politis