Berikut ini penjelasan Woro Kurnianingrum, M. Psi, Psikolog Anak Remaja RSIA St. Carolus Summarecon Serpong, sebagaimana dilansir
Mom Kiddie. Fisik dan psikis Banyak hal yang menjadi penyebabnya. Namun, hal umum yang biasa terjadi adalah karena si ibu memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan pada kehamilan atau proses persalinan sebelumnya. Misalnya, secara fisik, si ibu kesulitan untuk makan, mengalami muntah-muntah yang berkepanjangan, sakit punggung atau pinggang yang mengganggu aktivitas sehari-hari.
Selain fisik, masalah psikis juga berpengaruh, seperti kehilangan orang terdekat ketika masa kehamilan, suami kehilangan pekerjaan, dan sebagainya. Masalah lainnya adalah faktor keuangan keluarga, faktor usia ibu, kesehatan (risiko untuk kehamilan berikutnya), masalah pembagian peran dan pengasuhan pada anak pertama yang telah menyita waktu, perjuangan panjang untuk memeroleh anak pertama setelah perkawinan bertahun-tahun (mengikuti program hormon, bayi tabung, dan sebagainya), serta prinsip atau pandangan suami-istri yang menganggap mempunyai satu anak sudah cukup.
Jangan hamil bila masih trauma Perasaan trauma pada tiap orang berbeda jangka waktunya. Ada yang sebentar lalu hilang. Ada yang bertahan dalam jangka lama, atau dialami berulang-ulang kali oleh orang tersebut.
Hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor, antara lain faktor internal (kematangan emosi, daya tahan stres, pola pikir, daya juang pribadi), ataupun faktor eksternal (dukungan keluarga atau lingkungan).
Besar kemungkinan bagi ibu yang masih dilingkupi trauma hamil atau melahirkan, akan bertahan pada zona aman, yakni dengan memiliki satu anak saja.
Sebaliknya, bila kehamilan terjadi saat kondisi si ibu masih trauma, bisa jadi kehamilan tersebut dijalani dengan berbagai perasaan negatif, misalnya,
Moms selalu merasa kesulitan, sering diliputi kekhawatiran dan perasaan tidak nyaman. Dalam kondisi tersebut, ada kemungkinan ibu jadi kurang memerhatikan janin dalam kandungannya sehingga tidak tercipta kontak batin yang seharusnya ada antara ibu dan anak.
Ungkapkan secara terbuka Jangan takut mengungkapkan perasaan yang mengganggu mengenai rencana untuk memiliki anak kedua kepada keluarga. Setelah memeroleh dukungan keluarga,
moms dapat membekali diri dengan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang permasalahan yang terjadi pada kehamilan atau persalinan terdahulu. Informasi dapat diperoleh melalui buku, internet, pengalaman orang-orang terdekat, ataupun langsung berkonsultasi ke dokter yang terkait.
Dalam berkonsultasi,
moms and dads dapat menanyakan kemungkinan untuk hamil kembali, serta hal-hal apa saja yang perlu dipersiapkan atau dapat menjadi faktor risiko. Hal tersebut kiranya dapat meminimalkan terulangnya masalah yang sama pada kehamilan kedua.
Moms, berusahalah untuk keluar dari masa lalu. Tenangkan diri dan tanamkan pikiran positif, misalnya "Kehamilan saya akan baik-baik saja, kejadian dulu tidak akan terulang" dan sebagainya.
Kapan menemui psikolog? Apabila permasalahan psikis - ketidaksiapan secara mental – di atas belum dapat teratasi, maka
Moms dapat berkonsultasi dengan profesional yang terkait, seperti psikolog. Kapan itu dilakukan?
Jika
moms tidak dapat mengatasi emosi atau perasaan negatif (khawatir, sedih, takut, dan sebagainya) yang berlebihan terhadap kehamilan yang akan atau telah dijalani.
Moms masih sulit mengatasi ingatan akan peristiwa traumatik yang dialami ketika proses menjelang atau semasa kehamilan terdahulu.
Moms masih menghadapi konflik internal (dalam diri sendiri), yakni, ada keinginan untuk mempunyai anak lagi namun masih sulit menghilangkan trauma yang terkait dengan pengalaman terdahulu.
Kabar baiknya, jika
Moms sudah memiliki keinginan dan perasaan positif akan kehadiran anak (lagi), ini merupakan tanda bahwa Anda siap untuk menambah momongan.
(tty)
Orignal From:
Punya Anak Lagi, Siap atau Tidak?